Sabtu, 19 Februari 2011

Surat untuk mu Ibu

Bu, entah mengapa aku menuliskan ini. Aku tahu ibu mungkin tak akan pernah membacanya. Kalau pun ibu membaca nya, aku tak yakin ibu akan bisa memahaminya. Entahlah, aku ingin saja. Ada desakan dari dalam. Keinginan, itu saja. Bukankah sesuatu kita lakukan tak perlu selalu ada penjelasannya. Iya kan bu?

Bu, saat ini aku terpuruk. Aku merasa bersalah sekali dan merasa berdosa. Merasa bukan lah apa-apa, atau siapa-siapa. Aku sedang terpuruk, Bu. Dan entah lah, mengapa di saat seperti itu aku akan selalu ingat kau Bu. Aku rindu engkau. Selalu saja, selalu begitu. Selalu jika aku ingat kau, aku tak kuasa untuk tidak menangis Bu. Sampai saat ini aku belum bisa memberi sesuatu untuk Ibu, aku belum bisa menjadi sesuatu (meski kau tak pernah minta sesuatu dari ku Bu).

Bu, waktu semakin berjalan ya. Engkau dulu cuma bilang kalau engkau lahir di tahun 1967. Itu berarti hampir 44 tahun yang lalu. Ah ibu semakin menua, tapi ibu tak pernah mau berhenti menjadi ibu. Menjadi ibu adalah karunia terbesar yang diberikan Tuhan, mungkin itu pikiran mu bu. Kami kini semua beranjak dewasa bu. Dan sulung mu ini, aku, telah menginjak semester keempat perkuliahan. Doakan semoga dengan itu sulungmu ini bisa lebih bermanfaat. Bu, aku ingin membahagiakan mu. Yang kutahu doa, tak pernah lupa untuk ibu panjatkan.

Bu, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa saat aku mulai menuliskan ini, air mata ini mulai menetes. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik untukmu, ibu? Bu, bagaimana kabar ibu sekarang? di saat aku jauh dari ibu aku justru selalu ingat ibu. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya bu.

Bu, kadang aku rindu masa kecil ku. Aku rindu saat ibu mengangkat ku tinggi tiap kali ibu selesai memandikan ku. Aku rindu saat ibu mengajak ku bepergian, di sebuah angkutan umum, ibu begitu bangga nya bercerita tentang aku pada penumpang. Ya memang tiap kali di angkutan umum bersama ibu, banyak penumpang yang sering tanya tentang aku. Aku memang mirip anak cina, putih dan sipit. Tapi ibu selalu bangga dengan itu. Ibu tak pernah berkeberatan apabila ada orang yang belum begitu ibu kenal memegangi ku.

Bu, menjadi dewasa adalah menjadi seseorang yang harus berani bertanggung jawab. Dulu sewaktu kecil aku selalu meminta pembenaran dari ibu tiap kali melakukan sesuatu yang tidak biasa. Dan sekarang bu, aku harus memutuskan sendiri tindakan ku. Lalu aku pun harus mempertanggungjawabkan sendiri tindakan ku itu. Sekarang aku harus bisa menjaga diriku sendiri bu. Berat, berat sekali bu. Aku harus bisa menopang kedua kakiku agar tidak tergelincir, menjaga mulutku agar tidak kebablasan. Harus menjaga semuanya bu. Aku membayangkan begitu beratnya ibu harus menjaga ketiga anak ibu.

Bu, kemarin saat terakhir kali aku pulang, ibu mengeluhkan badan ibu sakit. Ibu bilang bahwa ibu sudah keliling ke berbagai dokter tapi belum juga ada hasilnya (apa sekarang sudah baikan bu?). Saat itu aku terdiam bu, aku tak punya jawaban untuk itu, aku hanya menduga-duga apa penyebabnya itu. Ah andaikan aku dokter bu, mungkin aku bisa menjadi lebih bermanfaat bagi ibu kala itu, tapi aku hanya lah seorang mahasiswa sastra, yang pekerjaannya mengotak-atik grammar dan bergelut dengan puisi, novel, dan prosa-prosa. Tak begitu tau masalah penyakit.

Tapi ibu tak pernah sedih kan? Ibu menerima semua penyakit yang diberikan Tuhan itu dengan (ah sekali lagi) senyuman. Bahwa itu ujian Tuhan. Aku takut bu, aku takut saat itu tak dapat kutemui. Aku takut aku belum sempat membahagiakan ibu. Aku takut ibu tak sempat menikmati buah dari perjuangan ibu itu. Aku tahu bu, ketakutanku tak beralasan sekali. Karena mungkin aku bisa saja mendahului ibu, tapi ah tetap saja bu, ketakutan itu, ketakutan melihat kerut diwajah ibu yang kian rata,  dan kemarin, ketakutan melihat langkah ibu yang semakin terhuyung-huyung digerogoti penyakit. Ah aku takut bu. Bahkan semakin takut tiap kali aku mengingat dulu tiap kali ibu mengeluhkan kaki ibu yang sering sakit dan meminta diolesi balsem sambil dipijiti, aku melakukannya dengan malas-malasan sambil bilang "dibuat tidur juga sembuh" (yang langsung engkau balas, "mana mungkin bisa tidur nak kalau kaki sakit  begini"). Padahal bu, padahal engkau selalu ikhlas tiap kali mengurut kaki ku yang keseleo atau sakit.

Bu, apa yang ibu lakukan sekarang? Sudahkah ibu istirahat? sudahkah ibu sejenak mengistirahatkan kaki ibu? Ah engkau memang tak pernah beristirahat bu. Tiap kali kau merebahkan badan, ada saja yang menganggumu (termasuk aku), menanyakan hal-hal kecil, mengadu hal-hal kecil, meminta pertimbangan ini dan itu. Kau memang muara segala hal bu. Semuanya akan terasa menjadi lebih ringan bila dilaporkan kepada mu. Kau selalu menenangkan. Entahlah, mungkin itu senjata yang diberikan Tuhan pada semua ibu di muka bumi. Kau tak perlu banyak berkata-kata, kau cukup memandang, dengan wajah teduhmu, dan ya Tuhan, semuanya terasa ringan kembali. Semuanya seolah bukan lah beban. Semua itu bu, semuanya, membuat aku bertambah sayang pada ibu. Aku mencintaimu bu, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya engkau tak pernah mengucap kata cinta pada anak-anakmu, tapi aku tau engkau mencintai kami bu. Kecintaan mu bahkan tak terwakili oleh kata cinta itu sendiri.

Akhirnya hanya itu yang mungkin bisa kuberikan bu. Semuanya menguap. Aku tergugu. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terlalu banyak kasih sayangmu yang coba aku ceritakan. Terlalu beragam senyummu yang coba aku terjemahkan. Semuanya terlalu sesak. Tak akan cukup jika di goreskan dalam lembaran kertas.

Maafkan anakmu ini bu, karena bahkan sampai sebesar ini masih sering merepotkan mu.
Dan jika waktu bisa berputar ke belakang, sungguh bu, aku ingin kembali terlahir dari rahim mu. Kembali menjadi putri ibu yang mungil itu.
Terima kasih atas kesabaranmu, kasih sayang mu yang tanpa batas,
Terima kasih telah melahirkan ku, merawat ku, menjaga ku hingga aku bisa menjadi seperti sekarang.
Terima kasih ibu.
I YOU MOM




                                                                                                       Yogyakarta, 12 Februari 2011
                                                                                                       Anak Sulung Mu


                                                                                                        Devi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar