Sabtu, 19 Februari 2011

Surat ku pada Hujan ku

Dear Hujan,
Yang datang dari atasku, selalu.

Selamat malam hujanku, apa kabar? Aku menebak, pasti kau sedang galau? Mengapa aku bilang begitu? Karena kini iramamu seperti kalut terbawa emosimu. Dulu kedatanganmu ku rindu, menyegarkan bumiku yang padat polusi dan manusia yang beranak pinak tiada henti.

Hujan, dia pernah bilang bahwa hujan adalah kebahagiannya. Namun hujan mu kini terasa lain. Apakah saat ini kegalauan rinaimu adalah kegalauan hatinya? Apakah derasnya curahmu adalah curah linangan air matanya yang tak sempat menetes? Hujan, jawab aku? Karena aku tak bisa bertanya kepadanya.

Hujan, merintiklah! Jangan menderas apalagi tak berirama. Karena Hujan adalah dia. Aku tak suka membayangkannya sedih seperti hujan di Yogya akhir-akhir ini.

Hujan, kau jatuh dari atas untuk meresap ke bawah dan akhirnya menguap kembali ke atas menjadi hujan di koordinat yang baru. Maka pergi dari hadapanku, carilah koordinat baru, supaya aku tak melihatmu sebagai sedihnya. :(

Aku cinta kamu Hujan, seperti aku cinta dia. Tapi aku tak ingin melihatmu sebagai sebuah kesedihan. Aku ingin melihatmu seperti hujanku yang dulu, yang selalu ku rindu. Hujan yang selalu membawa kedamaian dan kesejukan saat engkau datang.

Seharusnya ini surat cinta. Kepada hujan atau kepada dia?
Entah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar